Masalah
keracunan makanan tampaknya sudah menjadi langganan di Indonesia.
Hampir setiap tahun kasus keracunan selalu ada dan angka kejadiannya pun cukup
tinggi. Dan dari seluruh kasus keracunan makanan yang ada, semua bersumber pada
pengolahan makanan tidak higienis. Ironisnya makanan tidak higienis ini banyak
dijual di kantin sekolah. Masalah
keamanan pangan menjadi isu strategis. Saat ini Industri Rumah Tangga di bidang
Pangan (IRTP) berjumlah lebih dari 500 ribu unit yang tersebar di seluruh Indonesia.
Namun, pada saat yang sama IRTP juga mempunyai potensi kerawanan keamanan
pangan terutama dalam kebersihan sarana, pemilihan bahan, proses pengolahan,
dan monitoring mutu produk di peredaran.
Demikian
juga makanan jajanan (street food) dan jajanan anak sekolah perlu mendapat
perhatian serius dan konsisten dari semua pihak. Terutama adanya fenomena
penggunaan bahan-bahan kimia yang dilarang dalam makanan. Perlu dilakukan
pembinaan yang lebih intensif kepada IRTP dan pembuat makanan jajanan terhadap
pemasok bahan kimia. Sumber terbesar keracunan makanan yang terjadi di Indonesia
berada pada usaha jasa boga atau katering untuk karyawan maupun jajanan anak
sekolah.
Pembinaan
dan pengawasan usaha jasa boga dan jajanan anak sekolah ini ada pada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Meski demikian, Badan POM tetap melakukan proaktif
menjalin kerja sama dengan mitra terkait. Berdasarkan hasil pengujian
laboratorium Badan POM sebagian besar kasus keracunan makanan akibat makanan
telah terkontaminasi mikroba patogen Staphyllococcus areus.
Hal
ini mengindikasikan adanya masalah kebersihan dan proses memasak makanan yang
tidak higienis. Sedangkan dari uji sampling jajanan sekolah dari Banda Aceh
sampai Jayapura ditemukan makanan mengandung formalin dan boraks pada bakso dan
mi untuk pengenyal dan pengawet serta Rhodamin B pada sirup es mambo atau
pewarna merah pada es.
Penyuluhan
Sementara
itu belum semua sekolah mendapat penyuluhan dari Dinas Kesehatan setempat.
Sebab pernah dilakukan survai kepada sejumlah sekolah. Para penjaga
kantin sekolah mengatakan bahwa sekolah mereka belum pernah didatangi petugas
kesehatan untuk mendapatkan penyuluhan tentang makanan yang aman untuk
anak-anak. Bahkan, beberapa kantin sekolah yang menyediakan jajanan anak
sekolah sama sekali tidak layak dan tidak aman untuk dikonsumsi anak-anak.
Pihak sekolah seharusnya ikut bertanggung jawab dalam pengadaan jajanan anak
sekolah. Karena sekolah yang mengizinkan penjual itu berjualan di sekitar
sekolah.
Seperti
diketahui, Rhodamin B biasa digunakan untuk pewarna tekstil dan masuk ke dalam
golongan pewarna yang dilarang digunakan untuk makanan. Demikian juga produk
jajanan mengandung mikroba salmonela yang menyebabkan tifus.
Penanganan makanan jajanan anak sekolah ini harus
melibatkan pihak sekolah untuk melakukan pembinaan kepada para penjaja makanan
yang ada di sekitar sekolah maupun kantin.
Pihak
sekolah harus mewaspadai donasi dan promosi makanan yang dilakukan di
sekolah-sekolah. Makanan yang didonasikan ke sekolah bila tidak diatur dan
dilakukan pengawasan dengan baik dapat menimbulkan masalah dan risiko pada
anak-anak sekolah.
Sehubungan
dengan hal itu Badan POM telah menyampaikan pedoman pemberian pangan untuk
konsumsi anak sekolah kepada gubernur di seluruh Indonesia. Sedangkan industri
makanan di dalam negeri dengan teknologi modern juga tumbuh pesat dengan
dukungan basis sumber daya nasional. Untuk bersaing di pasar ekspor, aspek mutu
dan keamanan produk harus dijaga konsisten untuk selalu memenuhi standar
internasional terkini.
Pemantauan
terhadap makanan yang ditambah dengan zat kimia saat ini masih belum tuntas. Dulu
pernah ada pemeriksaan terhadap bahan pembuat tahu Kediri. Hasil pemeriksaan POM mengandung
formalin. Pengusaha tahu Kediri
jera dan tidak lagi menambahkan formalin. Akan tetapi, setelah beberapa bulan
kemudian dilakukan lagi dengan alasan usahanya bisa rugi. Perbuatan pengusaha
itu jelas merugikan masyarakat apalagi menambahkan zat kimia terlarang pada
makanan yang cukup khas di kotanya.
Program
pengawasan keamanan pangan Badan POM pada tahun mendatang difokuskan untuk
menyelesaikan dan menyusun berbagai standar bekerja sama dengan Badan
Standardisasi Nasional (BSN). Terutama menyangkut bahan tambahan pangan
pengemulsi, pemantap, pengatur keasaman, pengental, antioksidan, pemutih,
pematang tepung dan sebagainya. Demikian pula berbagai peraturan pangan yang
saat ini sudah dalam proses perlu diselesaikan segera. Misalnya, peraturan
persyaratan penggunaan pengawet dalam produk pangan, persyaratan penggunaan
pewarna, persyaratan penggunaan bahan baku,
persyaratan penggunaan cemaran logam, dan batas maksimum aflatoksin dalam
produk pangan.
Sering
kali anak-anak tertarik dengan jajanan sekolah karena warnanya yang menarik,
rasanya yang menggugah selera, dan harganya terjangkau. Makanan ringan, sirup,
bakso, mi ayam dan sebagainya menjadi makanan jajanan sehari-hari di sekolah.
Bahkan tak terbendung lagi berapa uang jajan dihabiskan untuk membeli makanan
yang kurang memenuhi standar gizi ini.
Bahan tambahan
Makanan
semakin enak biasanya ditambah dengan bahan tambahan makanan (BTM). Produsen
makanan rumah tangga akan berusaha menampilkan makanan semenarik mungkin baik
dari penampakan, aroma, dan tekstur. Akan tetapi, acap kali faktor gizi,
higienis dan keamanan pangan justru diabaikan.Faktanya, produksi pangan olahan
untuk tujuan komersial penggunaan bahan tambahan kimia sebagai bahan pengawet
tidak mungkin dihindari, terutama industri makanan rumah tangga.
Tujuan
penggunaan bahan pengawet ini adalah untuk menghambat atau menghentikan
aktivitas mikroba (bakteri, kapang, khamir). Akhir tujuannya dapat meningkatkan
daya simpan suatu produk olahan, meningkatkan cita rasa, warna, menstabilkan,
memperbaiki tekstur, sebagai zat pengental/penstabil, antilengket, mencegah
perubahan warna, memperkaya vitamin, mineral, dan sebagainya. Pemberian bahan
tambahan tersebut tidak merusak nilai gizi makanan itu, asalkan tidak
kedaluwarsa. Biasanya kalau masa kedaluwarsanya sudah ditentukan, maka empat bulan
menjelang kedaluwarsa makanan itu mengalami perubahan.
Penggunaan
zat pengawet sebaiknya dengan dosis di bawah ambang batas yang telah
ditentukan. Jenis zat pengawet ada dua, yaitu GRAS (Generally Recognized as
Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik, misalnya garam, gula, lada, dan
asam cuka. Sedangkan jenis lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily Intake), jenis
pengawet yang diizinkan dalam buah-buahan olahan demi menjaga kesehatan
konsumen. Pewarna, pengawet, atau penguat rasa alamiah sangat sulit dilakukan
di Indonesia
karena harganya cukup mahal. Apalagi dijual untuk konsumsi anak sekolah,
industri rumah tangga lebih menyukai bahan kimia. Kalau zat pewarna jelas
warnanya lebih ngejreng dibandingkan dengan pewarna dari Angkak. Warnanya
kurang menarik dan mahal harganya.
Demikian
juga dengan pemanis buatan, seperti aspartam jauh lebih disukai produsen karena
hanya satu tetes saja sudah cukup manis dibandingkan gula asli dari tebu. Sedangkan
penguat rasa MSG kalau di luar negeri dipakai penguat rasa dari tumbuhan.
Harganya memang mahal dibandingkan MSG hasil fermentasi, seperti yang dipakai
di Indonesia.
Tentu saja masyarakat harus hati-hati mengonsumsi makanan dan minuman yang
masih rendah keamanannya. Jangankan jajanan sekolah, pembuatan tempe saja sekarang ini masih kurang
higienis, khususnya sanitasinya. Bagaimana tempe kita bisa diekspor.
Untuk
mengantisipasi dampak keracunan dan meningkatkan keamanan pangan. Badan POM telah
membentuk Pusat Kewaspadaan dan Penanggulangan Keamanan Pangan di Indonesia
(National Center Food Safety Alert and Respons). Pada tahun 2005 Badan POM telah
menerapkan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) pada
industri pangan dan system food star pada industri rumah tangga pangan. Rencana
ke depan Badan POM akan melaksanakan sistem standardisasi produk pangan dan
bahan berbahaya, membangun networking dengan berbagai instansi berkaitan dengan
mutu dan keamanan jajanan anak sekolah. Badan POM perlu meningkatkan koordinasi
lintas sektor tentang pengelolaan dan pengamanan bahan kimia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar