Jumat, 22 Februari 2013

Kapal Layar Phinisi Khas Indonesia




 

 Kapal Phinisi adalah kapal layar  tradisional khas Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang. 

Phinisi adalah sebutan bagi sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera besar di dunia.

Kapal Phinisi umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau di Nusantara. Orang Bugis dan Mandar yang berasal dari Sulawesi Selatan adalah pembuat kapal sekaligus pelayar yang handal. Kapal - kapal Phinisi ini telah membawa orang Bugis berlayar di kepulauan Nusantara hingga Jawa, Kalimantan, Sumatra, Papua, dan kepulauan Nusa Tenggara. Orang Bugis tidak hanya dikenal sebagai pembuat kapal yang handal tapi juga sebagai bajak laut yang di takuti.

Pada abad ke-18 saat Belanda menjajah Nusantara, banyak kaum bangsawan berlayar ke Malaysia dan Kalimantan. Sultan Kutai di Kalimantan Timur serta Johor dan Selangor di Malaysia adalah keturunan Bugis. Daerah pedalaman orang Bugis asli berada di Luwu - Teluk Bone.

Pada abad ke-13 dan 14 adalah masa berkembangnya Kerajaan Bugis. Salah satu hasil karya sastra terbesar orang Bugis lahir pada masa ini yaitu “I La Galigo”. Karya sastra ini berisi cerita asal muasal orang Bugis dengan tebal lebih dari 6,000 halaman. Termasuk di dalamnya tentang kapal Phinisi yang pertama sekali dibuat oleh Sawerigading (Putera Mahkota Kerajaan Luwu) untuk berlayar menuju Negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Sawerigading berhasil sampai ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Phinisinya ke Luwu. Namun, menjelang masuk perairan Luwu, kapalnya diterjang gelombang besar dan Kapal Phinisi milik Sawerigading terbelah menjadi tiga bagian yang masing-masing terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu kembali yang kemudian dinamakan Phinisi.

Kapal layar Bugis Phinisi pada umumnya memiliki berat sekitar 100-200 ton dan saat ini masih berperan penting sebagai angkutan tradisional dalam perdagangan antar pulau.

Pada abad ke-19 Perahu tradisional khas Bugis ini pernah digunakan untuk mengangkut barang-barang dari Eropa dan Cina, dari Singapura ke Dobo di pulau Aru di Nusatenggara Timur kemudian berhenti di dermaga terpencil di sepanjang jalur. Dari kepulauan Indonesia mereka mengumpulkan bulu-bulu burung surga, kayu cendana, rempah-rempah, emas, dan cabe. Mereka menjual barang-barang tersebut dengan harga yang tinggi di Singapura kepada pedagang Cina dan India.
    
Ada dua jenis Kapal Phinisi yaitu Lamba dan Palari. Lamba atau Lambo adalah Kapal Phinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan dilengkapi dengan motor diesel (PLM). Sedangkan Palari, merupakan bentuk awal Phinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba. Sementara  Kapal layar Bugis Phinisi berukuran besar yang masih digunakan sekarang ini, bentuknya sudah meniru kapal layar Barat abad ke-19. Selain itu juga merupakan versi besarnya dari perahu Bugis terdahulu, dikenal sebagai Perahu Patorni dan Padewakang.

Kapal pinisi merupakan salah satu kapal tradisional kebanggaan Indonesia dan memiliki keunikan dalam pembuatannya. Umumnya, pembuatan kapal seperti kapal-kapal di negara Barat terlebih dahulu dibuat rangka kapal baru kemudian dindingnya. Sedangkan Kapal Phinisi, pembuatannya dimulai dengan dinding dulu baru setelah itu rangkanya.

Konstruksi kapal Phinisi merupakan perpaduan antara pengetahuan dan pengalaman tradisional kuno disertai ritual yang ketat yang harus diikuti untuk memastikan keamanan di laut. Para pengrajin Kapal Phinisi ini harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai bahan baku. Biasanya jatuh pada hari kelima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik kemudian kepala tukang yang disebut “punggawa” memimpin pencarian.

Tidak ada rancangan atau catatan tertulis dalam kertas untuk membuat kapal Phinisi. Seorang punggawa telah menggambarkan semua detail rancangan Pinisi hanya di kepala mereka. Namun tidak sembarangan dalam membuat Kapal Phinisi ini karena harus melalui banyak ritual-rituan tertentu. Pada saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual tertentu.

Meskipun para pengrajin kapal ini sering disebut sebagai orang Bugis, namun mereka dibagi menjadi empat sub suku. Keempatnya adalah Konjo di bagian selatan Sulawesi Selatan (Ara, Bira dan Tanah Biru), Mandar di bagian Sulawesi Barat sampai bagian utara Makasar, Bugis di wilayah sekitar Wajo bagian timur Teluk Bone, dan Makassar di wilayah sekitar Kota Makasar. Di antara semua itu, Konjo adalah yang paling berpengaruh dalam pembuatan Kapal Phinisi.

Ekspedisi kapal Phinisi yang terkenal adalah Pinisi Nusantara yang telah berlayar ke Vancouver, Kanada, memakan waktu 62 hari pada tahun 1986. Sedangkan pada tahun 1987, ada lagi ekspedisi perahu Padewakang, “Hati Marige” ke Darwin - Australia, mengikuti rute klasik. Lalu Ekspedisi Ammana Gappa ke Madagaskar, terakhir pelayaran Pinisi Damar Segara ke Jepang.

Sampai dengan saat ini Kapal layar Phinisi masih dapat kita jumpai di sekitar wilayah pantai selatan Sulawesi Selatan, berpusat di sekitar Bulukumba di Tana Beru. Di sini Anda dapat menyaksikan pembuatan kapal yang mengesankan dengan alat tradisional.